
Apa Itu Bapukung?
Di tengah derasnya arus modernisasi, banyak tradisi lama mulai dilupakan. Namun, di Kalimantan Selatan, masyarakat Banjar dan Dayak masih menyimpan sebuah cara unik menidurkan bayi yang disebut bapukung. Tradisi ini bukan hanya soal membuai si kecil agar cepat terlelap, tetapi juga sarat dengan nilai budaya, sosial, bahkan spiritual.
Secara sederhana, bapukung adalah cara menidurkan bayi dengan membungkus tubuhnya menggunakan kain panjang lalu mengayunnya dalam posisi duduk. Kata “pukung” sendiri berarti buai atau ayun. Prosesnya tampak sederhana, namun setiap gerakan dan ikatan kain memiliki makna tersendiri.
Tradisi ini biasanya dilakukan pada bayi berusia 2 hingga 18 bulan, terutama ketika mereka sulit tidur atau sedang rewel.
Bagaimana Prosesnya?
Dalam praktiknya, bayi dibalut dengan kain dari leher hingga pinggang. Tubuh mungil itu kemudian diposisikan duduk dengan kaki agak selonjor. Setelah itu, bayi diayun perlahan dengan irama ritmis.
Yang menarik, bapukung sering disertai dengan syair, doa, atau dzikir yang dilantunkan pengasuh. Alunan itu bukan hanya menenangkan bayi, tetapi juga menjadi media untuk menyisipkan nilai moral dan religius sejak dini.
Manfaat Bapukung
Banyak orang tua percaya bahwa bapukung membuat bayi tidur lebih nyenyak dan lama. Balutan kain yang hangat memberikan rasa aman, seolah-olah si kecil sedang dipeluk. Selain itu, tradisi ini juga diyakini:
- Membantu memperkuat leher dan punggung bayi.
- Melindungi dari gangguan luar seperti serangga atau angin malam.
- Menumbuhkan ikatan emosional yang erat antara orang tua dan anak.
Penelitian etnografi bahkan menunjukkan, bapukung mampu memberikan dampak positif pada perkembangan fisik dan psikologis bayi.
Lebih dari Sekadar Menidurkan Bayi
Bapukung bukan sekadar teknik tradisional. Ia adalah warisan budaya yang mengandung filosofi mendalam. Doa yang dibacakan mencerminkan nilai keagamaan. Nyanyian dan petuah menyiratkan pesan moral. Dan tentu saja, interaksi yang tercipta menjadi jembatan kasih sayang antara generasi.
Tak heran, tradisi ini sering disebut sebagai bentuk pendidikan dini ala Banjar, yang memadukan kelembutan dengan nilai kehidupan.